|
Jika hati sudah berniat, akal dan tenaga mungkin akan berkerja sama untuk mewujudkannya. |
Sebenarnya
saya bingung akan hadir atau tidak. Tapi rasanya hati ingin terus hadir pada
acara tahunan itu. Ya walapun kata senior saya sih, saya waktunya mencari pasangan
bukan klayapan. Hahaha.... Tapi ya mau bagaimana lagi, namanya juga tanggung
jawab sebagai alumni yang masih perduli dengan adik-adik calon anggota
Arismaduta. Sebelumnya saya sudah ceritakan bahwa saya didik oleh Arismaduta,
sebuah organisasi siswa pecinta alam yang tumbuh disalah satu SMA negeri di
Tulungagung yang akhirnya membawa saya hingga sekarang.
Sabtu itu, saya berencana
berangkat jam 4 subuh untuk menghindari macet Surabaya. Tapi apalah daya mata
yang tak mau kerja sama hingga saya bangun telat tiga jam kemudian. Wkwkkw...
Sampai akhirnya saya keluar dari terminal Bungurasi jam 8 pagi yang diprediksi
sampai Tulungagung sekitar jam 12, bayangan
saya. Tapi apalah daya yang ternyata rencana Tuhan yang lebih berlaku ( BTW
bahasa saya jadi agak berubah. Maaf ya). Tepat di Kediri, di dekat alun-alun,
di tengah jembatan, satu truk kecil yang sepertinya memuat pasir mogok di
tengah jalan jembatan yang membuat macet total dan tidak berjalan sama sekali
selama satu jam. Mandeg jegleg. Duh
saya rasanya pingin turun saja dari bis dan berjalan kaki. Mungkin lebih cepat
saya berjalan daripada nunggu bis. Lebih kasihan lagi, ketika saya melihat
tukang becak dan para pengendara motor di bawah terik matahari jam sebelas
siang. Duhh.. bisa bayangkan bagaimana kondisinya. Apalagi tidak ada satupun
pengatur lalu lintas waktu itu. Sumpritt saya rasanya pingin protes kepada
pemerintah terutama Kediri. Macetnya lebih parah dari Surabaya.
Akibat macet itu, estimasi waktu
saya sampai di Tulungagung jadi molor dua jam. Dan tepat jam dua siang saya
tiba. Dua adek kelas saya sudah menunggu (mungkin sudah garing) di depan
****mart yang rencananya langsung ke basecamp
tempat kami diklat biasanya. Memang rencananya sih, saya tidak mampir rumah dan
langsung balik ke Surabaya esoknya. Hehehe. Trimakasih ya sudah mau menunggu saya yang
terjebak mancet.
Kegiatannya sih ya, biasa.
Kalian mesti tahu sendiri bagaimana diklat Pecinta alam, tapi paling tidak ini
tidak separah MAPALA kok. Hehehe. Saya sih hanya memantau saja kegiatannya.
Mungkin mengarahkan saja karena anak-anak SMA itu juga masih perlu belajar
banyak begitu juga dengan saya.
|
upacara sebelum berangkat |
|
suasana mulai masuk ke dalam hutan |
|
|
pengarahan |
Sumpah, sejujurnya suasananya
itu yang saya rindukan. Aroma bukit, rumput, hutan dan tanah yang tidak bisa
saya temukan di kota. Itulah yang selalu membuat saya kangen dengan
Tulungagung. Terutama alamnya. Walapun saya sering dibilang anak ndeso wes ora
popo. #wenakk
Malam harinya, evalusi yang
rencananya bakalan dilakukan didepan api unggun ternyata gagal total. Semuanya dikalahkan
oleh rencana Tuhan. Sekitar pukul tujuh malam awan hitam bersama petir bergerak
ke arah selatan hingga Hujan badai dan petir tepat di atas kami. Saya dan widi
sebagai alumni yang tua (btw saya kali ini jadi sesepuh) panik minta ampun.
Karena tak ada tumbuhan yang lebih tinggi daripada satu-satunya pohon tepat
untuk bivak para peserta. Sedangkan posisi kami di lereng bukit yang padang jingglang hanya rumput tiga puluh senti. Siapa coba
yang ndak ketakutan mengingat belum ada referensi bagaimana menghindari petir
yang menyambar seenaknya. Apalagi di bukit lapang yang hanya ditumbuhi
alang-alang dan rumput liar. Saya dan Widi hanya bisa komat-kamit meminta pada
Sang Maha Mengatur Alam semoga tak terjadi apa-apa. Saya sudah tak
memperdulikan baju basah kuyup dan banjir di dalam tenda. Yang penting semuanya
aman.
Tapi ternyata esok paginya
sangat berbeda. Horee.. Badai sudah berlalu dan paginya cuacanya sangat cerah.
Kota Tulungagung tertutup awan putih dan Gunung Wilis terlihat megah di utara
kota. Juara sekali pemandangannya. Seperti diatas awan padahal hanya ketinggian
tiga ratus meter diatas permukaan. Sumprit.. ini yang paling saya kangenin.
|
esok paginya #wilis mengintip dari belakang |
|
cuma numpang narsis saja |
|
memacu langkah yang berat menuju tempat yang indah |
|
aya dan widi dua anak yang khawatir tingkat tinggi |
Hari kedua itu jadwalnya adalah longmarch. Inti utama diklat Arismaduta
adalah mencari titik navigasi yang menggunakan protaktor dan numerator.
Biasanya diklat Arimaduta ini bekerja sama dengan YABI (Yayasan Alam Bebas
Indonesia) untuk pemberian materinya. Jadi
para peserta harus menjadi titik yang telah diberikan. Seru sih ini tapi kalau
dibawah titik matahari di siang bolong yang panas ngentang-ngentang ya.. Soro
juga. Wkwkwkw. Semangat ya para perserta.
Di tengah perjalanan mendampingi Longmarch, saya dan adek-adek saya
menemukan buah nangka yang sepertinya matang. Sepertinya sih, tercium dari
aroma yang dari tadi berkeliaran di hidung kami. Wkwkw. Sambil tengok kanan
kiri kalaupun memang nangka ini ditanam ya kami akan minta oleh si empunya.
Tapi kalau dilihat dari pohonnya yang dibawahnya masih rungkut oleh tanaman
liar dan banyak nangka yang jatuh dibawahnyam, sepertinya memang tumbuh liar
dan tidak ada pemiliknya.
“Mbahh
kulo nyuwun nongkone nggih..” Si Emon, yang biasanya tukang manjat pohon untuk replingan langsung manjat pohon dan
secepatnya menjatuhkan nangka yang segedhe
tong sampah. Ya bagaimana lagi, si penduduk asli pohon nangka mulai
menyerangnya di atas pohon. Wkwkw... ngakak sekali saya melihat itu. Dia
langsung turun terbirit-birit karena diserang anggrang merah hutan yang gatel
sekali ketika menggigit. Ya bisa bayanginkan orang panik di atas pohon yang
kaki dan badannya diserang anggrang merah yang menggigit, sedangkan nangkanya
aja belum bisa dijatuhkan. Antara dua pilihan sih nangka yang jatuh atau dia
yang jatuh. Dan kami (saya dan dua adek saya) hanya melihat dari bawah sambil
tertawa ngakak menunggu buah nangka yang jatuh. #btw ini sambil menunggu
peserta yang dari jadi sudah jalan duluan tapi dari tadi ndak ketemu titiknya.
Melanjutkan
perjalanan Longmarch tadi, kami
sampai di lereng bukit yang dulu sangat rungkut
sekali. Malah lebih cenderung gelap dan rimbun yang bahkan jalannya saja tak
kelihatan tertutup semak-semak belukar yang gatal. Tapi suasananya kemarin
sangatlah berbeda. Seratus delapan puluh derajad berbeda. Jujur saya ingin
menangis melihatnya. Bagaimana tidak hutan yang dulu rimbum dingin yang
tertutup semak-semak kini sudah padhang
jingglang tak tersisa. Hilang semuanya diganti lahan yang ditanami jagung.
Coba bayangkan kalau tiba-tiba banjir, siapa yang sebenarnya salah. Manusia
sendirikan. Apakah itu hanya karena terbutakan harta dunia sehingga lupa
menjaga ekosistem alam yang seharusnya dijaga demi kehidupan manusia.
Lebih
parah lagi, jalan yang hanya selebar tiga puluh senti itu dilewati motor-motor
cross yang dari tadi saya amati kemlinthi
sekali (Kemlinthi = sombong). Sudah tahu jalannya sempit, kiripun juga jurang
kok ya tega-teganya mereka ngegas banter
sekali. Kita yang diklat sudah bawa carrier besar. Mau minggir kemana lagi
coba. Dan sejak saat itu suara saya yang sudah pelan, spontan keluar suara yang
kayak Buto. Wkwkw... Maksud hati buat
mbengoki (mbengoki=teriak) para
pengendara yang tak tahu diri dan hanya bisa merusak jalan. Rasanya saya
benar-benar sakit hati. Alasan pertama hutannya yang dulu rungkut sekarang
sudah hilang, kedua motor cros yang tak mau mengalah dan dengan sombongnya
lewat saja tanpa mikir jalannya yang dilaluinya sempit dan pasti rusak. Duh..
sombong sekali mereka.. Rasanya pingin tak tendang saja masuk ke jurang sewaktu
mereka lewat di depan saya. #maaf ya.
|
pagi hari ketika olah raga pagi |
|
diantara kabut yang berjalan |
Nah..
sekitar jam dua belas siang, tepat panas-panasnya terik matahari, longmarch
kami tiba pada suatu titik yang katanya selalu membingungkan untuk melakukan navigasi.
Sebenarnya titik ini berada di punggungan yang sangat indah tempatnya. Titik
inipun juga sempurna sebagai acuan intersection
dan resection karena tampak
puncak-puncak bukit yang sangat jelas. Saya tidak tau kenapa. Tapi yang jelas
banyak gagalnya sampai tidak ketemu titiknya di peta kami. Kata orang sih
katanya disini ada makam yang tak tahu makam siapa. Ukiran batunya pun juga
sudah kuno. Mungkin masih terkait dengan candi-candi yang lainnya ya.
Seharusnya
kelompok kedua tiba di titik ini dalam waktu yang bersamaan. Mungkin karena ada
salah satu anggotanya ada yang sering pingsan, kelompok kedua belum sampai atau
bahkan masih akan melanjutkan perjalanan menuju titik ini. Sedangkan kelompok
kami sudah tiga perempat jalan.
Karena
dari atas bukit sudah terlihat awan hitam yang mulai bergerak ke selatan, saya
dan Widi memutuskan untuk merubah jalur longmarch
kelompok kedua. Takutnya di jalan terjadi sesuatu mengingat badai petir tadi
malam yang menegangkan. Ya... harus bagaimana lagi, kelompok dua masih belum
ada setengah perjalanan dan waktu yang tidak nuntut jika dilanjutkan. Btw ada
salah satu spot yang katanya sering ndak
ketemu jalan. Apalagi kalau dijelajahi sewaktu magrib tiba. Jadi daripada
beresiko lebih dalam.
Sampai dititik pertemuan
antara kelompok satu dan kelompok dua, saya memutuskan untuk pamit sekalian
balik ke Surabaya. Berat memang sih meninggalkan mereka. Tapi bagaimana lagi
tangung jawab yang lebih besar menanti di Surabaya. Yahh.. walapun saya sudah balik tapi rasanya
masih ada tertinggal.. apa ya..?? owww ternyata hati rasa tertinggal disana
tapi saya rela..
|
totalitas dalam menjalankan |
|
memulai navigasi di alam bebas |
|
langkah dan tenaga memang berat. apalagi harus melewati lima jam perjalanan dan macet yang luar biasa. tapi hati tak pernah berbohong begitu juga tekad dan akal yang mau kerjasama |
Thanks to : para peserta, para panitia dan alumni yang telah menyempatkan diri sepenuh hati
0 komentar:
Posting Komentar