Jika hati sudah berniat, akal dan tenaga mungkin akan berkerja sama untuk mewujudkannya.


Sebenarnya saya bingung akan hadir atau tidak. Tapi rasanya hati ingin terus hadir pada acara tahunan itu. Ya walapun kata senior saya sih, saya waktunya mencari pasangan bukan klayapan. Hahaha.... Tapi ya mau bagaimana lagi, namanya juga tanggung jawab sebagai alumni yang masih perduli dengan adik-adik calon anggota Arismaduta. Sebelumnya saya sudah ceritakan bahwa saya didik oleh Arismaduta, sebuah organisasi siswa pecinta alam yang tumbuh disalah satu SMA negeri di Tulungagung yang akhirnya membawa saya hingga sekarang.
                Sabtu itu, saya berencana berangkat jam 4 subuh untuk menghindari macet Surabaya. Tapi apalah daya mata yang tak mau kerja sama hingga saya bangun telat tiga jam kemudian. Wkwkkw... Sampai akhirnya saya keluar dari terminal Bungurasi jam 8 pagi yang diprediksi sampai Tulungagung sekitar jam 12,  bayangan saya. Tapi apalah daya yang ternyata rencana Tuhan yang lebih berlaku ( BTW bahasa saya jadi agak berubah. Maaf ya). Tepat di Kediri, di dekat alun-alun, di tengah jembatan, satu truk kecil yang sepertinya memuat pasir mogok di tengah jalan jembatan yang membuat macet total dan tidak berjalan sama sekali selama satu jam. Mandeg jegleg. Duh saya rasanya pingin turun saja dari bis dan berjalan kaki. Mungkin lebih cepat saya berjalan daripada nunggu bis. Lebih kasihan lagi, ketika saya melihat tukang becak dan para pengendara motor di bawah terik matahari jam sebelas siang. Duhh.. bisa bayangkan bagaimana kondisinya. Apalagi tidak ada satupun pengatur lalu lintas waktu itu. Sumpritt saya rasanya pingin protes kepada pemerintah terutama Kediri. Macetnya lebih parah dari Surabaya.
                Akibat macet itu, estimasi waktu saya sampai di Tulungagung jadi molor dua jam. Dan tepat jam dua siang saya tiba. Dua adek kelas saya sudah menunggu (mungkin sudah garing) di depan ****mart yang rencananya langsung ke basecamp tempat kami diklat biasanya. Memang rencananya sih, saya tidak mampir rumah dan langsung balik ke Surabaya esoknya. Hehehe.  Trimakasih ya sudah mau menunggu saya yang terjebak mancet.
                Kegiatannya sih ya, biasa. Kalian mesti tahu sendiri bagaimana diklat Pecinta alam, tapi paling tidak ini tidak separah MAPALA kok. Hehehe. Saya sih hanya memantau saja kegiatannya. Mungkin mengarahkan saja karena anak-anak SMA itu juga masih perlu belajar banyak begitu juga dengan saya.


upacara sebelum berangkat

suasana mulai masuk ke dalam hutan 

pengarahan

                Sumpah, sejujurnya suasananya itu yang saya rindukan. Aroma bukit, rumput, hutan dan tanah yang tidak bisa saya temukan di kota. Itulah yang selalu membuat saya kangen dengan Tulungagung. Terutama alamnya. Walapun saya sering dibilang anak ndeso wes ora popo.  #wenakk

                Malam harinya, evalusi yang rencananya bakalan dilakukan didepan api unggun ternyata gagal total. Semuanya dikalahkan oleh rencana Tuhan. Sekitar pukul tujuh malam awan hitam bersama petir bergerak ke arah selatan hingga Hujan badai dan petir tepat di atas kami. Saya dan widi sebagai alumni yang tua (btw saya kali ini jadi sesepuh) panik minta ampun. Karena tak ada tumbuhan yang lebih tinggi daripada satu-satunya pohon tepat untuk bivak para peserta. Sedangkan posisi kami di lereng bukit yang padang jingglang  hanya rumput tiga puluh senti. Siapa coba yang ndak ketakutan mengingat belum ada referensi bagaimana menghindari petir yang menyambar seenaknya. Apalagi di bukit lapang yang hanya ditumbuhi alang-alang dan rumput liar. Saya dan Widi hanya bisa komat-kamit meminta pada Sang Maha Mengatur Alam semoga tak terjadi apa-apa. Saya sudah tak memperdulikan baju basah kuyup dan banjir di dalam tenda. Yang penting semuanya aman.

                Tapi ternyata esok paginya sangat berbeda. Horee.. Badai sudah berlalu dan paginya cuacanya sangat cerah. Kota Tulungagung tertutup awan putih dan Gunung Wilis terlihat megah di utara kota. Juara sekali pemandangannya. Seperti diatas awan padahal hanya ketinggian tiga ratus meter diatas permukaan. Sumprit.. ini yang paling saya kangenin.


esok paginya #wilis mengintip dari belakang

cuma numpang narsis saja

memacu langkah yang berat menuju tempat yang indah

aya dan widi dua anak yang khawatir tingkat tinggi

                Hari kedua itu jadwalnya adalah longmarch. Inti utama diklat Arismaduta adalah mencari titik navigasi yang menggunakan protaktor dan numerator. Biasanya diklat Arimaduta ini bekerja sama dengan YABI (Yayasan Alam Bebas Indonesia) untuk pemberian materinya.             Jadi para peserta harus menjadi titik yang telah diberikan. Seru sih ini tapi kalau dibawah titik matahari di siang bolong yang panas ngentang-ngentang ya.. Soro juga. Wkwkwkw. Semangat ya para perserta.
                 Di tengah perjalanan mendampingi Longmarch, saya dan adek-adek saya menemukan buah nangka yang sepertinya matang. Sepertinya sih, tercium dari aroma yang dari tadi berkeliaran di hidung kami. Wkwkw. Sambil tengok kanan kiri kalaupun memang nangka ini ditanam ya kami akan minta oleh si empunya. Tapi kalau dilihat dari pohonnya yang dibawahnya masih rungkut oleh tanaman liar dan banyak nangka yang jatuh dibawahnyam, sepertinya memang tumbuh liar dan tidak ada pemiliknya.

“Mbahh kulo nyuwun nongkone nggih..” Si Emon, yang biasanya tukang manjat pohon untuk replingan langsung manjat pohon dan secepatnya menjatuhkan nangka yang segedhe tong sampah. Ya bagaimana lagi, si penduduk asli pohon nangka mulai menyerangnya di atas pohon. Wkwkw... ngakak sekali saya melihat itu. Dia langsung turun terbirit-birit karena diserang anggrang merah hutan yang gatel sekali ketika menggigit. Ya bisa bayanginkan orang panik di atas pohon yang kaki dan badannya diserang anggrang merah yang menggigit, sedangkan nangkanya aja belum bisa dijatuhkan. Antara dua pilihan sih nangka yang jatuh atau dia yang jatuh. Dan kami (saya dan dua adek saya) hanya melihat dari bawah sambil tertawa ngakak menunggu buah nangka yang jatuh. #btw ini sambil menunggu peserta yang dari jadi sudah jalan duluan tapi dari tadi ndak ketemu titiknya.

Melanjutkan perjalanan Longmarch tadi, kami sampai di lereng bukit yang dulu sangat rungkut sekali. Malah lebih cenderung gelap dan rimbun yang bahkan jalannya saja tak kelihatan tertutup semak-semak belukar yang gatal. Tapi suasananya kemarin sangatlah berbeda. Seratus delapan puluh derajad berbeda. Jujur saya ingin menangis melihatnya. Bagaimana tidak hutan yang dulu rimbum dingin yang tertutup semak-semak kini sudah padhang jingglang tak tersisa. Hilang semuanya diganti lahan yang ditanami jagung. Coba bayangkan kalau tiba-tiba banjir, siapa yang sebenarnya salah. Manusia sendirikan. Apakah itu hanya karena terbutakan harta dunia sehingga lupa menjaga ekosistem alam yang seharusnya dijaga demi kehidupan manusia.

Lebih parah lagi, jalan yang hanya selebar tiga puluh senti itu dilewati motor-motor cross yang dari tadi saya amati kemlinthi sekali (Kemlinthi = sombong). Sudah tahu jalannya sempit, kiripun juga jurang kok ya tega-teganya mereka ngegas banter sekali. Kita yang diklat sudah bawa carrier besar. Mau minggir kemana lagi coba. Dan sejak saat itu suara saya yang sudah pelan, spontan keluar suara yang kayak Buto. Wkwkw... Maksud hati buat mbengoki (mbengoki=teriak) para pengendara yang tak tahu diri dan hanya bisa merusak jalan. Rasanya saya benar-benar sakit hati. Alasan pertama hutannya yang dulu rungkut sekarang sudah hilang, kedua motor cros yang tak mau mengalah dan dengan sombongnya lewat saja tanpa mikir jalannya yang dilaluinya sempit dan pasti rusak. Duh.. sombong sekali mereka.. Rasanya pingin tak tendang saja masuk ke jurang sewaktu mereka lewat di depan saya. #maaf ya.


pagi hari ketika olah raga pagi

diantara kabut yang berjalan

Nah.. sekitar jam dua belas siang, tepat panas-panasnya terik matahari,  longmarch kami tiba pada suatu titik yang katanya selalu membingungkan untuk melakukan navigasi. Sebenarnya titik ini berada di punggungan yang sangat indah tempatnya. Titik inipun juga sempurna sebagai acuan intersection dan resection karena tampak puncak-puncak bukit yang sangat jelas. Saya tidak tau kenapa. Tapi yang jelas banyak gagalnya sampai tidak ketemu titiknya di peta kami. Kata orang sih katanya disini ada makam yang tak tahu makam siapa. Ukiran batunya pun juga sudah kuno. Mungkin masih terkait dengan candi-candi yang lainnya ya.

Seharusnya kelompok kedua tiba di titik ini dalam waktu yang bersamaan. Mungkin karena ada salah satu anggotanya ada yang sering pingsan, kelompok kedua belum sampai atau bahkan masih akan melanjutkan perjalanan menuju titik ini. Sedangkan kelompok kami sudah tiga perempat jalan.

Karena dari atas bukit sudah terlihat awan hitam yang mulai bergerak ke selatan, saya dan Widi memutuskan untuk merubah jalur longmarch kelompok kedua. Takutnya di jalan terjadi sesuatu mengingat badai petir tadi malam yang menegangkan. Ya... harus bagaimana lagi, kelompok dua masih belum ada setengah perjalanan dan waktu yang tidak nuntut jika dilanjutkan. Btw ada salah satu spot yang katanya sering ndak ketemu jalan. Apalagi kalau dijelajahi sewaktu magrib tiba. Jadi daripada beresiko lebih dalam.
Sampai dititik pertemuan antara kelompok satu dan kelompok dua, saya memutuskan untuk pamit sekalian balik ke Surabaya. Berat memang sih meninggalkan mereka. Tapi bagaimana lagi tangung jawab yang lebih besar menanti di Surabaya.  Yahh.. walapun saya sudah balik tapi rasanya masih ada tertinggal.. apa ya..?? owww ternyata hati rasa tertinggal disana tapi saya rela.. 

totalitas dalam menjalankan

memulai navigasi di alam bebas

langkah dan tenaga memang berat. apalagi harus melewati lima jam perjalanan dan macet yang luar biasa. tapi hati tak pernah berbohong begitu juga tekad dan akal yang mau kerjasama


Thanks to : para peserta, para panitia dan alumni yang telah menyempatkan diri sepenuh hati 




“Man arofa nafsahu faarofa robbahu.” 
~ kenali dirimu, maka akan mengenal Tuhanmu



Saya mengenal seorang gadis yang sedang tumbuh menjadi wanita dewasa. Mungkin usianya sekitar 20th yang saya tidak tahu tepatnya berapa. Dia berasal dari suatu daerah kecil di salah satu pulau yang paling fenomenal di dunia. Banyak orang bilang kalau dia berasal dari desa. Terserah itu kata orang. Ia pun juga tak pernah memperdulikannya. Mungkin begitupun juga saya.
[“Coba bandingkan dengan orang-orang yang hidup di kota yang selalu dikelilingi kebisingan, gaya hidup glamour, harga yang selangit, yang kadang kala iri dan dengki dan kadang saling menjatuhkan menjadi fenomena bisa. Atau bahkan saya sangat miris ketika tingkat kesenjangan yang begitu luar biasa dilihat. Apakah itu yang dinamakan bahagia? mereka sebenarnya kadang juga menginginkan kehidupan damai di desa yang kita bisa menghirup udara pagi tanpa kontaminasi polusi secara gratis tanpa bensin habis.”]

                Setahu saya ia orangnya periang. Tapi mungkin adakalanya ia tampak badmood yang mungkin jelas terbaca pada setiap orang yang mungkin ia temui. Tapi dia berusaha tidak melakukannya karena takut menyakiti hati. Tapi kadang kala tanpa dia sadari perkataan yang muncul dari bibirnya pedas ketika mengkritisi. Katanya sih itu bukan maksud untuk menyakiti hanya saja keluar dari mulutnya.
                [“saya tidak memiliki bakat apa-apa yang mampu menunjukan siap diri saya sebenarnya. Wajah biasa, otak pas-pasan. Kalaupun kalian lihat apa yang saya dapatkan saat ini. Jujur. Bukan saya yang melakukannya. Itu semua adalah pemberian dari Yang Maha Mengendalikan dan itu semua sudah disekenario oleh Maha Yang Membuat Peristiwa. Saya hanyalah salah satu makhluk -Nya yang sedang menjalankan peran yang sedang saya jalankan sekarang. Kalaupun dalam suatu perjalanan saya bisa beribadah dengan membuat orang bahagia dan mendapatkan petunjuk. Alhamdulillah saya sangat bersyukur diberikan peran itu. Karena pada dasarnya manusia diciptakan adalah untuk menjadi kholifah di bumi yang saat ini saya sedang mencari maknanya dan perannya. Salah satunya mungkin membuat orang lain merasa aman dilindungi dan tenang.  Ya walaupun peran itu hanya sesaat.”]

Ada yang bilang kalau tatapan matanya kadang menakutkan saking tajamnya. Pernah suatu ketika dia melihat kedua alisnya yang begitu tebal dan sempat berfikir “mungkin karena alis ini” dia tampak jahat. Dan sering kali dia pantas mendapatkan peran antagonis. Tapi ternyata dia mensyukuri tentang pemberian alis itu dari Yang Maha Pemberi. Berkat Alis itu ia tak perlu mengikuti trend alis tebal di dunia fashion saat ini da tumbuh secara alami.
                Kalau ditanya siapa dia. Mungkin ada banyak jawaban yang akan ia jelaskan. Dia sebagai perempuan yang sedang mencari makna, dia sebagai manusia yang hidup di bumi, dia sebagai salah satu makhluk yang di ciptakan oleh Yang Maha pencipta untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya.
                Setahu saya dia memiliki pemikiran visioner kedepan. Dia memiliki rencana-rencana tentang kehidupannya ke depan dan akan akan berusaha untuk mewujudkannya. Dan setidaknya memang berhasil dalam beberapa periode yang tentunya dia sadar jika itu semua memang keajaiban dari Yang Maha Memberi Keajaiban. Mungkin jika saya bertanya tentang dia bagaimana kamu bisa sampai seperti sekarang.
                 [“Saya tidak tahu darimana saya bisa mendapatkan tentang apa yang saat ini saya dapatkan. Kalian bisa melihatnya sendiri bagaimana saya sekarang. Ya walaupun belum bisa dikatakan sukses secara finanasial maupun inteklektual atau malah cenderung berantakan tapi saya sangat bersyukur tentang apa yang saya dapatkan sekarang. Semua itu sudah diatur oleh Yang Maha Pengatur. Kalian tak usah risaukan. Yang perlu dilakukan adalah lakukan apa yang ingin kalian lakukan dengan sepenuh hati. Walaupun kesulitan, tangis, itu adalah hal yang selalu menemani. Ingat bahwa didalam kesulitan itu ada jalan keluar. Badai pasti berlalu namun hari yang cerah pasti juga akan berlalu. Yang perlu kita ingat adalah terus mengingat bahwa didalam kesulitan itulah kita moment dimana kita sangat sadar akan pertolongan yang Maha Kuasa. Saya sangat bersyukur ketika saya ditempatkan dalam situasi yang begitu sulit. Apapun itu, karena setelah itu saya pasti sadar ada manfaat lain yang bisa saya ambil pelajaran daripadanya. Namun ketika saya berada dalam hal-hal yang sangat menyenangkan saya sangat ketakutan jika saya sampai lalai dengannya.”]

Di usianya yang sangat produktif dan melihat teman-teman yang sedang gencar-gencarnya memburu karier ,cita dan cinta, dia terlihat tenang menghadapinya walaupun masa depannya  masih abu-abu. Dia terlihat seolah tidak tertarik dengan hal seperti itu. Seperti dia memiliki dunia sendiri yang tidak dimengerti oleh orang lain. Berbicara soal pekerjaan, sepertinya hanyalah mampu untuk menghidupinya sendiri tak lebih dari itu. Namun sepertinya dia sangat bersyukur tentang apa yang dia dapatkan sekarang.
                [“Pepatah Jawa mengatakan urip mung mapir ngombe. Dene kowe urip diparingi peran cedek karo bondo dunyo. Yo disyukuri. Nanging kudu eling kui mung alat kanggo cedhak marang Gusti. Ora entuk lali. Lalu apakah saya perlu mengejar harta dunia ini jika semuanya nanti akan ditinggalkan disini. Keinginan sih tentu ada, namanya juga manusia tapi itu tidak masuk dalam hati saya. Tergantung manusianya mengendalikan tentang nafsu itu. Saya mengingat bahwa itu semunya hanyalah alat untuk membantu kita mencari dan mendekatkan diri pada Sang Illahi. Hanya itu. Apalagi saya semakin miris sekarang yang dimana manusia berlomba-lomba untuk mengumpulkan yang bagian dari ambisi dunia. Secara logika saja sudah bisa dijelaskan bahwa getaran partikel pada benda dunia belum bisa masuk dalam getaran dan frekuensi cahaya. Dan yang itulah yang sebenarnya kita cari. Manusia berjalan di bumi ini hakikatnya untuk mencari yang jawabannya akan didapatkan oleh sebab akibat waktu. Itupun saya juga sedang mencari dan berjalan dalam waktuku sendiri. kalian juga akan berjalan pada waktu kalian sendiri. Yang sama-sama kita dipertemukan untuk mencari jawaban dari pencarian kita ini. ”]

--> bersambung di BAB II : Pencarian 
Ada yang tahu situs pemandian jolotudo Di kaki gunung penanggunangan?? Baca-baca dari internet, situs petirtaan Jolotundo merupakan peninggalan dari kerajaan Udayana Bali untuk raja Airlangga. Saya sih juga masih mencari-cari sebenarnya peninggalan dari kerajaaan mana. Tapi yang pasti lambat laut informasi baru bisa ditemukan kembali. oww ya.. btw saya mampir ke jolotundo setelah dari jombang kemarin. 

Biaya masuknya cukup sepuluh ribu. Karena waktu itu hari minggu, kawasan jolotundo cukup lumayan ramai dari berbagai golongan agama dan kepercayaan. Dari tempat parkir ke sendang air  tidaklah jauh. Cukup parkir, beli tiket masuk dan berjalan kurang lebih seratus meter kita sudah bisa melihat sumber air yang konon disucikan itu. Kawasan jolotundo dijadikan tempat suci untuk beberapa kepercayaan seperti agama hindu dan kepercayaan tradisional. Konon, air dari sumber jolotundo merupakan air terbaik nomor dua setelah air zamzam. Wah sepertinya ini perlu dicari lagi ilmunya kenapa air dari jolotundo memiliki kwalitas yang bagus. Setahu saya memang banyak perusahaan air mineral di Indonesia yang mengambil airnya dari pegunungan Arjuno Welirang yang masih gandeng dengan gunung Penanggungan. Secara geografis Candi Jolotundo berada di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut (Mdpl) tepatnya di bukit Bekel, lereng barat Gunung Penanggungan. Jadi suasananya masih dikelilingi banyak pohon yang besar-besar yang rimbun dan dingin dan masih banyak ditemukan suara gareng yang sangat khas.
selamat datang di jolotundo
ini foto sebelum kita berangkat ke Jolotundo
ini bersama teman-teman baru yang baru pertama kalinya saya kenal hari itu

ini para ciwi-ciwinya



Kalau menurut saya suasanya mirip  sendang air yang di Bali yang kental dengan aroma dupa dan kemenyan. Di dinding sendang yang terbuat dari batu terdapat empat buah prasasti pendek dengan huruf jawa kuno yakni 1. Angka tahun 899 saka di dinding sebelah kiri, 2. Kata terbaca “Gempeng” di dinding ats sebelah kanan, 3. Kata terbaca “Udayana” di sudut tenggara, 4. Kata terbaca “Mragayawati” di sudut tenggara. Banyak sekali ahli yang sepakat tahun 899 saka merupakan tahun berdirinya pertirtaan Jolotundo. Bila demikian maka pada tahun tersebut Udayana telah berumur 14th. Cerita tentang penculikan Mrgawati yang sedang mengandung Udayana kiranya dapat disejajarkan dengan proses penmgusiran Udayana ke Jawa Timur ketika bali sedang dilanda Pralaya[1].

Sendang airnya dibentuk dari batuan adesit yang memiliki tiga tingkatan. Yang paling bawah berisi ikan yang besar-besar. Kalau dilihat-lihat sih menurut saya bentuknya mirip ikan gurami dan ikan emas. Gemes juga melihat ikan yang banyak dan besar-besar, tapi katanya tidak boleh diambil. Kolam pemandian letaknya lebih tinggi dari kolam ikan. Ibaratnya kolam ikan itu berasal dari air pemandian yang mengalir ke bawah. Banyak bapak-bapak ibu-ibu yang mandi disana yang konon airnya bisa membuat awet muda. Waduh kalau ini saya ndak tau juga ya, tapi jangan khawatir, dibedakan kok kolam antara laki-laki dengan perempuan. Sendang untuk perempuan berada disebelah kiri dan sendang untuk kaum lelaki berada di sebelah kanan. Sendang  yang terletak di tengah dan posisinya lebih tinggi dari sendang lainnya digunakan untuk mengambil air yang akan diminum. Seger sih airnya pake banget. Tapi rasanya seperti ada aroma dupa, bunga kemenyan di airnya. Hiks..

Di sekitar komplek sendang juga banyak sekali ditemukan gundukan candi-candi atau menhir. Duh sayangnya saya tidak sempat membaca keseluruhan informasi tentang potongan batu-batu tersebut. Mungkin karena saya sudah pusing dahulu karena aroma dupanya yang kental ketika masuk di kawasan itu. Nah, kebetulan juga mas-masnya mengajak ke situs candi yang posisinya lebih tinggi dari sendang air Jolotundo. Alhamdulillah paling tidak saya bisa menghindari aroma yang membuat pusing itu. Yaa,, walapun kami harus menanjak olahraga kaki menyusuri jalan setapak yang naik terus ditengah-tengah hutan. Kalian bisa paham kan apa yang saya maksud kan. hahaha.

Jalan setapak yang naik ini juga merupakan jalan menuju puncak gunung penanggungan via Jolotundo. Jadi kita seperti pemanasan akan naik gunung yang diperparah lagi karena saya salah memakai sepatu. Duhh,, tersiksa banget kaki saya.

Candi yang pertama kali kami bisa temukan setelah satu jam berjalan adalah Candi Bayi. Candinya sih berupa tumpukan batu-batu yang sudah tidak teratur dan berserakan dan hanya berbentuk balok. Mungkin ukuranya sekita 1,5-2 meter. Diatasnya candi bayi terdapat candi putri yang kemungkinnan masih satu peride dengan candi bayi dan sendang Jolotundo. Tapi karena kaki saya sudah lecet ndak karuan karena salah sepatu, saya memutuskan untuk menunggu mas-mas yang lain di candi Bayi ini.  



Sumber :
[1] https://www.kompasiana.com/mawan.sidarta/jolotundo-kisahnya-dahsyat-airnya-berkhasiat_552ac6956ea834c84d552d0b
foto bareng di depan pendopo. 
ini adalah cewek yang menggeret saya sampai bertemu teman-teman baru . Mbk A'yun namanya
ini ketika kecapekan sampai di candi Bayi 
setelah capek jalan kaki kita ngopi di warung. Mmm enak 
ini ada bang Opal dan Bang jo yang suka sekali dengan keris dan candi
ini para cowok-cowoknya yang asik ngopi disuasana yang dingin
bersama teman-teman maiyahan dari Surabaya


Hallo semuanya. Bagaimana semangat kalian di pagi ini?? Semoga selalu semangat ya. Oww ya ngomong-ngomong kalau kalian tidak semangat atau bisa dibilang kurang motivasi apa yang akan kalian lakukan? Baca buku? Dengerin musik? Atau malah pergi piknik?

Kadang ketika seseorang dalam kondisi down kurang semangat dan bingung berbuat apa mereka akan melakukan banyak hal. Nah, ada yang mengarah dalam hal positif tapi yang paling ditakutkan mereka mengarah pada hal negatif. Seperti di kehidupan metropolis yang tidak pernah tidur, banyak orang yang mengkonsumsi obat-obatan atau bahkan narkotika untuk menenangkan diri. Inilah yang perlu diwaspadai terhadap generasi penerus.

Kalau saya sih biasanya dengerin ceramah keagamaan atau kalau tidak gitu menyendiri dulu di kamar sambil menimang-nimang sejenak tentang apa yang terjadi. Ibu saya pernah berkata bahwa hidayah itu perlu dicari. Mungkin kita bisa mencarinya dengan membaca buku, dengerin ceramah keagamaan atau kadang bertemu orang baru.

                Sudah lama saya menyimak ceramahnya Cak Nun di Youtube. Kadang sempat kepikiran juga untuk bisa hadir langsung di acara tersebut. Nah kebetulan lagi malem minggu kemarin 4 November 2017 saya bisa hadir di acara Padhang Bulan di daerah Menturo, Jombang. Saya juga tidak menyangka bisa hadir juga pada akhirnya. Horeee Alhamdulillah.

                Berawal dari ajakan senior SMA saya untuk hadir diacara maiyahan yang akhirnya dititipkan ke temen-temen maiyah dari Surabaya. Sumprit, tak ada satupun yang saya kenal. Otomatis saya mengenal teman-teman baru. Sebelumnya sih saya biasanya menolak. Tapi karena kali ini malem minggu, ya saya ikut aja. Siapa tahu dapet ilmu baru, dapat kenalan baru atau ketemu jodoh disana (Uppsss).

                Btw ini bukan iklan, promo atau apalah. Saya hanya sekedar sharing pengalaman saya. Ini  merupakan pertama kalinya saya menghadiri acara sinau bareng Cak Nun atau biasanya disebut Maiyahan. Kesan pertama kali saya ketemu anak-anak maiyah dari Surabaya, OMG diluar dugaan saya. Penampilan mereka tidak seperti anak-anak pondok yang mau menghadiri pengajian. Sedikitnya saya merasa agak tenang karena sejujurnya saya bukan anak pondokan. Hahaha.

                Tiba di Jombang kurang lebih pukul sepuluh malam. Ehh.. Beje Busyet parkiran sudah penuh dan jalanan sudah dipenuhi berbagai lapisan masyarakat yang duduk di atas aspal yang siap mendengarkan.  Mulai dari anak muda, bapak-bapak, emak-emak seluruh lapisan ada. Saya sampai bingung sendiri untuk lewat. Dikit-dikit bilang “amet, nuwun sewu dan permisi”. Bahkan saya sudah tidak bisa masuk ke area depan panggung saking penuhnya orang.

Kalau ditanya materinya apa yang disampaikan, jujur saya lupa. Karena mungkin sudah separo ngantuk-ngantuk. Hahaha. Acara kira-kira jam sebelas malam sampai menyongsong subuh pagi esoknya. Tapi yang pasti acara tersebut sangat menggugah hati saya bagaimana seharusnya menjadi Bangsa Indonesia. Dan saya rasa banyak point-point penting yang disampaikan untuk membekali kaum muda Indonesia membangun masa depan.   

Minggu pagi, sepulang maiyahan kami main ke kolam Air Jolotundo di Mojokerjo. Untuk cerita lengkapnya akan saya lanjutkan di blog pribadi saya.

narsis dulu sebelum balik 

no caption

no caption
diatas ketinggian 

   Puncak tertinggi di Pulau Jawa terletak di Gunung Semeru dengan ketinggian 3676mdpl. Namun ada banyak gunung tertinggi lainnya yang sangat menarik untuk dikunjungi. Salah satunya adalah Gunung Arjuno dengan ketinggian 3339mdpl yang terletak diantara tiga kabupaten yakni Pasuruan, Malang dan Mojokerto. Ada banyak jalur pendakian gunung arjuno yang bisa dilalui. Via Tretes dengan jalur berbatu namun lebar dan pemandangan Gunung penanggungan, Via Purwosari yang konon merupakan jalur spiritual karena disetiap post terdapat petilasan, atau  Via Lawang yang saya balum tahu bagaimana jalurnya.

 Minggu kemarin, dengan kondisi sangat-sangat mendadak saya main ke gunung Arjuno via jalur Purwosari. Bagaimana tidak mendadak, hari kamis adek saya membari tahu bahwa jumat malam akan pergi ke Arjuno. Wihh,, saya yang separonya ndak tega dan sekaligus belum pernah kesana akhirnya ingin gabung dan bertemu di pos perijinan Tretes karena lebih dekat juga dari Surabaya. Eehh ternyata mereka berangkat dari jalur Purwosari yang saya juga masih belum tahu lewatnya mana. Tambah khawatir saja saya karena Jalur Purwosari terkenal dengan mistisnya.

 Saya berangkat dari Surabaya bersama teman saya lewat jalur Surabaya – Malang. Setelah pasar Purwosari kurang lebih seratus meter Belok kekanan masuk gang Pegadaian dan ikuti jalur jalan akan sampai di pos perijinan Arjuno via Purwosari. 

Untuk sekedar info biaya pendakian Arjuno Rp 14.200,- per hari dikalikan berapa hari pendakian. Kami tiba di post perijinan sekitar jam 11 malam dan baru jam 3 paginya adek saya bersama teman-temannya tiba. Baru esok paginya sekitar pukul 8 setelah sarapan, kami mulai perjalanan kami.

foto bareng di post satu

Di track pertama setelah pos perijinan, jalur sudah terbagi dua. Kami memilik jalur lurus tepat belakangnya warung. Tapi ternyata jalurnya naik terus seperti tangga. Duhh baru aja di awal perjalanan belum sampai di pos 1 saya sudah menggeh-menggeh bawa badan. Hahaha. Oww ya pulangnya kami lewat jalur yang satunya (belok kiri sebelum warung) jalurnya cukup landai dan berpaving tapi ternyata lebih jauh dari yang kami kira. Track pertama disuguhi pemandangan hutan pinus di kanan kiri jalannya. Di pertengahan jalan kita sampai di pos pengecekan karcis. Duhh, saya rasanya sudah ngliyeng dan  menggeh-menggeh karena memang sudah lama saya ndak naik gunung. Terakhir kali Agustus 2016 itupun juga cuma naik bukit Sikunir di Dieng.

Sampai di Post 1 Onto Bego kurang lebih satu jam dari pos perijinan. Di pos satu ini pemandangannya masih hutan pinus dan terdapat tugu naga. Katanya juga di pos satu ini ada tempat untuk bertapa. Kemarin sih waktu pulang saya baru sadar ternyata ada rumah penduduk bahkan memelihara kambing. Untuk yang kehabisan Air, ada air bersih tersedia di sini.

Setelah mendinginkan badan cukup lama di pos satu kami kembali melanjutkan perjalanan. Dipertengan jalan antara post satu ke post dua terdapat jalan mendatar yang kiri jalan ditumbuhi bunga terwarna ungu. Nah disini waktunya menikmati perjalanan sambil foto-foto ceria karena setelah itu tracknya mulai menanjak berbatu. Dipertengahan jalan sebelum pos dua kalian akan menemukan sumber air yang saya lupa namanya. Jangan kaget ya kalau banyak tempat yang baunya  dupa dibakar, Karena banyak peziarah berkunjung ke tempat-tempat tersebut.
Sampai di post 2 Tampuono kurang lebih satu jam.  Di pos ini ada warung yang buka. Barang kali ada yang ingin minum kopi tapi males bongkar tas. Hehehe. Suasana  di pos 2 ini merupakan hutan tropis. Jadi redup dingin dan banyak nyamuknya. Di pos 2 ini terdapat sendang Dewi Kunti untuk mengisi perbekalan air dan beberapa bangunan sebagai tempat pemujaan.

Dari pos 2 ke post 3 Eyang Sakri kurang lebih ditempuh dalam waktu 20 menit dengan track yang naik dan hutan tropis. Kebetulan kemarin itu jalannya berdebu banget. Mungkin karena  musim kemarau.  

perjalanan dari post 3 ke post 4
Dari pos 3 ke pos 4 Eyang Semar cukup memakan banyak waktu dan banyak tenaga. Dari track bertanah tropis akan berubah menjadi bebatuan yang menanjak abis dan masuk lagi ke hutan yang jalannya berakar dan menanjak. Tapi dari sinilah pemandangan yang menakjubkan dimulai.  Didepan mata kita bisa melihat pegunungan bromo dan gunung Semeru yang ditutupi awan yang luar biasa. Apalagi kalau lagiutnya cerah berwarna biru. Owww,,  luar biasa. Oww ya ditengah jalan nanti kita akan menjumpai gubug kecil dengan tulisan Aksara jawa “Rahayu” yang digunakan sebagai tempat pemujaan dan ziarah. Kalau saya sih ndak berani masuk ke dalam ya. Kalau kalian yang lebih sensitif coba aja masuk dan rasakan bedanya suasananya. 

Tiba di pos 4 terdapat gubug gubug seperti di post dua juga sumber air lengkap dengan kamar mandi. Kamarin sih waktu saya kesana ada beberapa orang yang tinggal di gubug itu. Bahkan kami ditawari makan juga.  Konon katanya situs Eyang semar yang terdapat di pos 4 ini merupakan tempat moksanya Eyang Semar. tak ketinggalan juga aroma dupa yang tetap tercium.


hampir sampai di post 5






Dari pos 4 kita melanjutkan perjalanan menuju pos 5 Mangkutoromo dengan medan yang lumayan sekali bikin menggeh-menggeh. Kali ini tracknya berbatu dan sangat menanjak ditambah berdebu. Komplit sudah. Sebenarnya sih jaraknya tak terlalu jauh namun karena jalannya yang menanjak curam jadi dikit-dikit saya harus istirahat. Kemarin juga saya sempat menemukan anggrek tanah di perjalanan. Medannya pun mulai dari tumbuhan semak yang semakin keatas akan berganti dengan pohon cemara. Tak ketinggalan juga didepan mata kita bisa melihat gagahnya pegunungan Bromo lengkap dengan puncak Semeru. Dari pos 4 ke pos 5 ditempuh kurang lebih 1 jam dengan langkah yang sangat amat slow.

Tiba di post 5 Mangkutoromo kita disambut oleh pundek berundak seperti tempat pemujaan lengkap dengan patung batu kuno dikanan kirinya dan beberapa bendera berkibar. Mangkutoromo merupakan tempat favorit untuk mendirkan tenda dan bermalam sebelum melanjutkan ke puncak. Karena disini terdapat persedian air bersih lengkap dengan kamar mandi serta wcnya. Lokasinya pun juga cukup luas dan dikelilingi pohon cemara. Jangan sungkan untuk berbincang atau bertanya dengan Pak Parto yang biasa tinggal di mangkutoromo (gubuk biru sebelah kiri petilasan). Disini juga ada beberapa anjing tapi jinak peliharaan Pak Parto. Baru kali ini saya tidak takut pada anjing dan bahkan saya kasih makan. Kebetulan juga kemarin itu kelompok kami yang disamperin bapaknya waktu kita masak sore hari setelah tiba di mangkutoromo. Ow w, kita tiba di mangkutoromo sekitar pukul 3 sore. Jadi total perjalanan kami 7 jam dari pos perijinan. Itupun juga karena terlalu banyak istirahat dijalan.

Esuk pagi sekitar pukul satu dini hari, para cowok mulai pendakian ke puncak. Sedangkan saya melanjutkan mimpi saya di tenda dan menunggu mereka di pos 5. Karena diburu waktu balik karena besok mereka harus sekolah dan saya harus berangkat kerja.
goreng tempe untuk makan makan malam 
masak sore setelah kita nyampe 
adel weis di puncak Arjuno
serius banget masaknya 

berenam di post 5 
masaka sebelum balik pulang 
yee nyape pos 5 Arjuno aja
banyak adelweis tumbuh. tapi jangan di petik ya 
view on the top




Hari kedua kita di Gili ketapang kita mulai dari mengambil foto Sunrise sekalian mencoba GoPronya Bang Andi yang baru beli kemarin sebelum berangkat dengan mode timelapse. Kita ambil sunrise di pelabuhan sekalian yang dekat dengan homestay. Dan saya baru sadar ternyata timelapse itu diambil dari banyak foto dengan durasi sekian detik. Haduh.. itu yang memakan banyak banget memori. Untuk membaca postingan di hari pertama bisa di klik disini

Gambar diambil mulai dari warna langit hitam yang hanya tampak bulat sabit dan bintang-bintang yang sedikit demi sedikit sinar-sinar merah muncul diufuk timur. Sumpah itu spektakuler pake banget. Kami menunggu sambil jongkok menjaga keseimbangan tongsis ehh monopod agar stabil dalam mengambil gambar. Setelah tiga puluh menit kami jongkok menunggu matahari muncul yang ndak muncul muncul, kami menyerah dan mengira mataharinya sudah muncul dan terhalang awan. Tapi lima menit kemudian setelah kami berdiri, Duengg..  matahari yang sebenarnya mulai muncul yang pemandangannya spektakuler abis. Perlahan lingkaran berwarna merah itu bergerak naik menembus horizontal.  Segera kami membuka GoPro untuk diambil gambarnya. Ya walapun telat sedikit. Hahaha..

warna kemerahan mulai terlihat di horizontal 

sinar-sinarnya mulai membesar 

langitnya sudah tidak terlalu gelap 

ada perahu yang sempat lewat

mataharinya sudah muncul
Setelah hunting sunrise dipelabuhan, kami memutuskan jalan-jalan ke pantai paling barat (spot snorkeling yang kemarin) karena belum sempat hunting foto narsis yang banyak disana. Hahaha. Sambil jalan-jalan menembus rumah-rumah penduduk yang sangat berdempetan dan kambing-kambing yang berkeliaran di jalan, perut saya rasanya keroncongan di sepanjang jalan. Bagaimana tidak, aroma gorengan yang berterbaran apalagi dinikmati pagi hari pasti enak sekali.

Sampai di pantai ekor barat, ehh, beje busyett pantainya sudah ramai, pake banget. Banyak tenda-tenda yang sudah berdiri yang kemarin kami lihat masih sepi. Di pantaipun juga sudah banyak yang narsis. Pagi itu anginnya luar biasa kencangnya sampe kerudung kami para cewek berterbaran. Pemandangannya gunung bromo dan puncak semeru, gunung argopuro dengan langit dan laut berwarna biru. Sempurna sekali.

Setelah narsisnya dirasa cukup, kami segera balik ke homestay untuk persiapan pulang. Karena rencananya kami bakalan balik pukul  9 pagi. Oww ya coba tebak sarapan pagi kita apa?? Alhamdulillah bukan ikan lagi. Hahaha. Kali ini nasi pecel yang ada bakwan jagungnya. Tapi rasa bakwan jagungnya agak beda, kayak ada ikan-ikannya gitu. Duh jadi ingin bakwan sambil nulis ini hahaha.


suasana jalan diantara rumah penduduk

semedi di padi hari. 

foto bareng dipantai duh silaunya

belum foto sama logo belum sah rasanya

ini ciwi ciwi pada ngapain ya

maap bang fotonya tak pinjem sebentar hahaha (ketahuan jomblo dah)


Oww ya untuk sekedar pengetahuan aja ya. Disana ada sinyal kok. Saya lihat beberapa tower sudah ada. Tapi disana tidak ada ATM jadi persiapkan uang tunai sebelum menyebrang. Air tawar diambil dari PDAM lewat jalur pipa laut. Untuk listriknya masyarakat menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel yang tiap malam akan terdengar bunyi dieselnya. Masyarakat sana adalah suku madura jadi bagi orang yang yang ndak bisa bahasa madura pasti ndak ngerti apa yang diomongin.

Setelah sarapan dan packing selesai, sekitar jam 9 kami menuju pelabuhan untuk pulang ke Surabaya. Wahh.. ini merupakan pengalaman yang baru bagi saya dan benar-benar sangat menarik. So, bagi temen-temen semua ayo segera angkat ransel kalian untuk mencoba pengalaman baru. Salam traveling dan sampai ketemu kembali di cerita selanjutnya.


suasana tepi pantai di pagi hari 

selamat jalan Gili semoga suatu saat saya bisa main kesini lagi