Gunung Merbabu
Selamat Pagi Mentari, maaf lahir batin ya

Passion akan tetap menjadi passion
Sampai kapanpun, dimanapun, siapapun,
Ia akan tetap ada mengalir dalam nadimu,
Mengiring kata hatimu untuk mengikutinya,
Ia memanggilmu, untuk menyatu dalam lubuk sanubarimu,
Ialah ia, memanggilmu tanpa mengerti waktu.

                Sebelumnya, minal aidzin wal faidzin, habis lebaran dimulai dari “0” ya. Yang sempat berkumpul dengan keluarga, yang sempet mudik ato merasakan hurik pikuk ruwetnya mencari tiket mudik, wah pasti seru banget pastinya, apalagi libur lebaran kali ini lumayan lama. Kebetulan juga saya meliburkan diri lebih lama, mumpung ada kesempatan saya mampir sekalian ke rumah teman saya Nita (yang sering juga saya pergi bersamamnya) di Klaten sekaligus mengunjungi tetangganya Merapi, Merbabu.

                Sebenarnya kemarin saya ragu juga pergi ke Merbabu, karena akhir-akhir ini di kabarkan merapi sering batuk-batuk. Bahkan beredar juga video merapi sedang erupsi gas ketika teman-teman masih di lokasi pasar bubrah. Duh..., saya ndak bisa membayangkan jika itu sendiri adalah saya. Sebenarnya, ketika berangkat dari rumah pun saya berencana pergi ke Dieng, namun ketika di perjalanan, nampak Merapi dan Merbabu berdiri megah dari balik jendela bus.  

                Ow ya.., perjalanan kali ini saya mulai dari Tulungagung, karena sekalian lebaran di rumah. Saya berangkat berdua dengan Emon, sekaligus nylimur Emon dari pada dia klayapan ke Semeru tanggal 8. Untuk akomodasinya kami menggunakan bis. Tulungagung-Brakkan (Kertosono) Rp 15.000 kemudian oper bis arah Jogja turun di Klaten Rp 42.000. Sampai  di Klaten sekitar jam 6 pagi saya di jemput Nita. Masuk di Klaten ( Jawa Tengah ) rasanya seperti pulang ke rumah. Bahasa dan logatnya sebenarnya ndak jauh berbeda dari Tulungagung, mungkin hanya sedikit perbedaan partikel akhirnya. Kalau dilihat-lihat, sama-sama dari  Jawa Timur, logat dan bahasa antar kotanya jauh beda, seperti Tulungagung-Surabaya yang tampak jelas berbeda. Rasanya seru juga melihat masyarakat yang kental menggunakan bahasa jawa yang saya rasa lebih banyak menggunakan “kromo”. Sebenarnya saya bisa bahasa Jawa Kromo, apalagi kalau berbicara dengan orang yang lebih sepuh. Namun setelah mbah kakung saya meninggal, sedikit-demi sedikit mulai bergeser dan lupa. Duhh.. #tepok jidad.

                Dari rumah Nita, kami pergi ke Selo ( Merbabu via Jalur Selo) dengan menggunakan sepeda motor. Oww ya ada yang unik nih, masyarakatnya menyebut sepedha motor dengan istilah “Pit”.  Klaten – Selo kurang lebih di tempuh 1,5 jam dari jalur Klaten – Boyolali. Nah., di perjalanan itu sepertinya saya pernah melewati jalan itu sebelumnya. Namun bukan saat saya ke Merapi beberapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah sewaktu saya pergi ziarah dari Demak menuju Klaten. Setelah saya tanya Nita, ternyata benar, jalur itu jalur pintas bus pariwisata.

Gunung Merbabu
Emon berburu matahari ketika saya masih enak tidur

Gunung Merbabu
mentari di ufuk timur pagi di pos 3 merbabu

Nita dan adeknya menyiapkan sarapan pagi 
Gunung Merbabu
Pos 3 Batu tulis yang ramai sekali

Gunung Merbabu
bukit yang viewnya merapi
Gunung Merbabu
tanjakan setan yang akan dilalui menuju pos savana 1
                Oww ya sewaktu ke Merapi beberapa tahun yang lalu, kami memilih jalur via Selo, karena pengalaman itu juga, saya sedikit ingat jalurnya. Paling tidak sama-sama via Selo, hanya saja beda belokan. Karena kami tiba di Selo sudah gelap (sekitar pukul delapan kalau tidak salah). Alhasil, belokkan kanan jalur Merbabu sama sekali tidak kelihatan. Apalagi kalau itu, gapura atau gangnya tidak ada lampunya. Yang ada hanya tukang ojek yang sedang mangkal untuk mengantar para pendaki sampai basecamp pos perijinan. Bahkan saya dan Emon sempet kelewatan juga gangnya. Nah setelah putar balik karana kelewatan, dan tanya pak-pak ojek arah gang pos perijinan Merbabu, saya langsung nge-gas aja motor. Belum sempet motor nanjak naik, eee.. motornya malah mlurut turun karena tanjakannnya lumayan tajam dan saya yang jadi  jokinya. Hahahaha.. Sampai akhirnya Emon harus turun motor dan  sedikit pemanasan jalan. Hahaha.. Untungnya saat itu Emon dibarengi sama mas-mas pendaki lain dari Madiun yang motornya sama-sama ndak kuat menanjak. 

                Dengan bantuan mas-mas dari madiun carrier kami dibawakan dan saya melanjutkan motor dengan Emon. Berkurangnya carrier lumayan mengurangi beban nanjak sampai kami tiba di pos yang apa ya namanya. Intinya pos itu kami harus membawar 2500 karena memasuki wilayah wisata Selo. Sebenarnya dari pos itu juga, kami juga bisa mulai track kami yang langsung tiba di Pos 3 Batu Tulis, namun dengan jalur yang lumayan terjal tanpa bonus datar. Di pos itu juga saya sempat bingung karena kami kehilangan jejak Nita dan adeknya yang tidak tahu dimana.

                 Saya singkat ya ceritanya, sampai akhirnya kami memilih jalur resmi Merbabu Selo yang dikelola TN Merbabu jalur lama. Kata Nita, di jalur ini  banyak bonusnya. Lumayanlah untuk saya yang sering ngos-ngosan karena keberatan badan. Hahaha.

                Biaya masuk dan pendakian TN. Merbabu Rp 15.000. dengan kurang lebih ada 5 titik pos peristirahatan. Mungkin karena masih libur sekolah ya, jadi ruame sekali suasananya. Kurang lebih kami memulai pendakian sekitar jam 9 malam. Walapun malam tapi di jalan kami sering bertemu teman-teman yang lain. Saat itu kabut juga sempat turun dan jarak pandang hanya sampai dua meter saking tebalnya kabut. Dari pos perijinan sampai pos 1 kurang lebih ditempuh 2,5 jam dengan susana hutan tropis dan medan yang ndak nanjak banget. Malah banyak bonus datar di perjalanan. Di tengah perjalanan, kami tiba di daerah yang lumayan datar dan luas. Kata Nita juga pos- pos di Merbabu tidak ada tulisannya. Kami kira ini adalah pos 1, alhamdulillah sampai juga, sedikit istirahat dan kami melanjutkan perjanan. Tapi.,, satu jam berikutnya, kami melihat papan bertuliskan Pos 1. “Jedarrr...” ternyata yang kami kira sebelumnya pos 1 hanyalah pos bayangan dan jarak pos perijinan ke pos 1 lumayan jauh juga.

                Di pos 1, suasananya ramai sekali. Banyak pendaki yang istirahat dan ada satu tenda berdiri. Lumayan menghangatkan badan lah. Saking ngantuknya juga, saya dan Emon menggelar matras dan tidur sesaat. Maklum lah, malam harinya kami belum sepat tidur karena perjalanan bis malam. Tapi lama kelamaan kok semakin dingin ya. Baru kami buka mata, lha kok sudah pada ilang semua orang. Hanya tinggal kami berempat dan satu tenda nyempil. Itupun orangnya mungkin sudah tidur. Suasananya jadi sedikit creepy, apalagi sekeliling kami hutan tropis yang gelap dan kabutnya juga mulai turun.

                Karena semakin dingin kami melanjutkan perjalanan, nah sesaat kemudian, kami melewati tanjakan yang lumayan membuat ngos-ngosan. Di puncak tanjakan terpampang tulisan “Pos Kota, Simpang Macan” Alhamdulillah akhirnya kami sampai pos 2 pikir kami. Sedikit istarahat dan saya merasa sedikit aman karena sekelompok anak-anak SMA dari Purwokerto mendirikan tenda di tempat ini. Jadi suasananya ramai. Sampai napas lega kami melanjutkan perjalanan lagi. “kurang satu pos lagi.. dan kami tiba di pos 3” pikir saya. Saya tambah semangat rasanya. Jalan satu jam kemudian kami tiba di tempat yag lumayan luas dan banyak tenda berdiri disana. “Horee.. akhirnya nyape pos tiga..” sambil berjalan menuju gubug untuk istirahat yang kebetulan juga disebelahnya berdiri tulisan “Pos 2”. Jedarrr.. ternyata kami masih tiba di pos 2. Duh... rasanya saya tertipu dua kali pos bayangan. Belum lagi jalannya lumayan jauh ternyata.

                Cukup istirahat kami melanjutkan langkah lagi. Kali ini vegetasinya sudah mulai berubah yang semulai hutan tropis berpindah menjadi alang-alang dengan pohon kayu yang meranggas di kanan kirinya. Jalannya sih cukup lumayan datar. Mungkin ada sedikit menanjak mendekati pos 3 dan berharap juga kali ini memang benar-benar pos 3 dan kami ndak tertipu lagi. Dari sini saya sedikit-sedikit berhenti. Rasanya semakin ngos-ngosan saja. Mungkin karena semakin tinggi ya, dan yang pasti semakin capet dan ngantuk. Rencana kami juga kami mendirikan tenda di pos 3 karena fisik sudah sangat ngantuk untuk lanjut sampai savana 1. Dan benar saja kurang lebih 50 menit kami berjalan dari pos 2 kami tiba di pos 3 yang sudah ramai dan penuh tenda. Belum lagi hawanya yang tambah dingin dan anginnya kenceng,  jari-jari sudah mati rasa untuk mendirikan tenda. Akhirnya, kami membuka lapak tenda di pos 3

....#Bersambung 



Gunung Merbabu
Merapi melambai-lambai


Gunung Merbabu
bukit-bukit teletubies di pos 3
bukit-bukit teletubies dan tanjakan setan 


Gunung Merbabu
para pencari foto termasuk saya 

Gunung Merbabu

Gunung Merbabu

Gunung Merbabu

Gunung Merbabu

Gunung Merbabu


Gunung Merbabu
Merapi megah di depan mata. 
Merapi yang megah di depan Merbabu


pos tiga dari tanjakan setan 




mangrove Wonorejo Surabaya
ujung hutan mnagrove 
Di hutan mangrove biasa memiliki banyak spesies burung terutama burung yang hidup di dataran rendah dan pantai. Di Jawa Timur sudah banyak dilestarikan hutan mangrove di beberapa kota dan kabupaten. Terutama yang berbatasan dengan pantai seperti hutan mangrove Wonorejo di Surabaya. Fungsi lain hutan mangrove selain melindungi dari akibat abrasi laut adalah sebagai tempat habitat bagi beberapa spesies burung dan tumbuhan endemik rawa bakau. Selain itu buah mangrove sendiri dari sekarang mulai dikembangkan menjadi bahan sirup.
Minggu kemarin bertepatan Emon mengirim keripik ke Surabaya, ia mengajak ke Jembatan Surabaya yang menjadi ikon baru di Surabaya. Namun karena memang pas puasa dan tentunya panas juga, kami berpindah ke tempat yang lebih sejuk yakni hutan Mangruve Wonorejo sekalian mengenalkan mangrove dan latihan birding. Dilihat sekilas, ketika beberapa kali saya kesana, sepertinya banyak spesies burung yang berhabitat di mangrove Surabaya ini. Bahkan ITS juga pernah mengadakan lomba birding dengan lokasi di hutan mangrove Wonorejo. Itu artinya ekosistem di mangrove ini cukup lumayan baik walaupun warna sungainya keruh. Ow ya., btw kami sering juga latihan birdwaching di Tulungagung, kebetulan saya pernah mengikuti salah satu lomba di TN baluran sewaktu SMA. Jadi mungkin beberapa spesies yang sering saya temui sudah sangat mengenal.

beberapa bangunan yang didirikan

mangrove Wonorejo Surabaya
emon


Ketika pertama kali kami masuk kami di sambut oleh suara burung yang sangat nyaring yang terbang beberapa ekor di ranting pohon. Warnanya punggung hitam, dada putih dan ekor seperti kipas. Langsung saya download buku panduan birding dari TN baluran dan kami rasa burung itu adalah kipasan belang (rhipidura javanica). Sesaat kemudian datang lagi spesien yang lainnya  seperti prenjak rawa (prinia flaviventris), cipoh kacat (aegithia tiphia), merbah cerucuk (pycnonotus goiavier), cucak kutilang (pycnonotus aurigaster) dan cinenen kelabu.
Sambil kami berjalan diatas setapak kayu, tiba-tiba tepat lurus didepan kami tampak si biru sedang bertengger diatas ranting  dengan santainya. Saya dan Emon mengendap-mengendap agar kami dapat mengamati lebih jelas. Namun sesaat kemudian, setelah kami begitu dekat, si biru itu malah terbang. Besar kemungknan itu adalah spesies cekakak, namun masih belum pasti itu cekakak sungai atau cekakak suci karena hampir sama warnanya.
Selesai menyusuri jalan setapak kayu itu sampai ujung, diperjalanan pulang, tiba-tiba dari semak-semak sebelah, muncul seekor burung kuntul yang dengan santainya bertengger diatas ranting pohon. Mungkin jaraknya hanya dua meter dari saya dan emon berdiri. Emon yang sudah dari tadi menanti spesies ini akhirnya muncul juga. Tapi saya sedikit bingung ini termasuk spesies kuntul apa. Bisa jadi antara kuntul kerbau dan kuntul kecil. Warnanya putih dengan sedikit abu-abu dibagian sayapnya. Duh.. sayangnya kamera saya tidak bisa dengan jelas menangkap gambarnya. Kelihatannya juga diseberang sungai masih banyak lagi sepies lainnya. Terutama burung yang ukurannya besar-besar. Karena dari setapak mangrove itu kami mendengar suara lain dari seberang sungai. Seandainya ada lomba ato birding saya ingin sekali ikut rasanya. 



mangrove Wonorejo Surabaya
sudah banyak foto2 yang berlokasi disini

kurang lebih jalannya seperti ini

dermaga dari bambu 

mangrove Wonorejo Surabaya
Add caption



sungai njagir





mangrove Wonorejo Surabaya




mangrove Wonorejo Surabaya


mangrove Wonorejo Surabaya