Saat
itu di sore hari, sekitar pukul empat kurang, sambil membereskan barang sebelum
pulang, tiba-tiba ponselku berbunyi. Dia mengirimkan pesan untukku.
“Temui
aku di Sanur, sepulang kerja ini. Ada yang ingin aku katakan. Sangat
penting. Jangan lupa.”
Aku
tak tahu ada hal penting apakah sekiranya yang ingin disampaikan sampai dia
mengirim pesan demikian. Delapan tahun
aku mengenalnya, dan sepertinya begitu penting kali ini. Dia sahabat
travelingku Selama ini. Bahkan hampir delapan puluh persen semua cerita
travelingku bersamanya. Seluruh kebiasaan kami berdua sudah tak ada yang
ditutupi lagi. Seolah-olah kami seperti sepasang sejoli yang sedang merajut cinta. Tapi kenyataannya
kami hanyalah teman biasa.
Akankah
dunia akan kiamat dan kita tak bisa traveling lagi, ataukah dia dipecat dan
akan pergi jauh, ataukah ada sesuatu dengan orang tuanya. Dan yang paling aku
takutkan adalah ini akan menjadi cerita terakhirku bersamanya. Traveling terakhir
bersamanya. Karena mungkin akan ada pendamping baru yang sah disampingnya. Oh Tuhan,
aku begitu penasaran dan penuh dilema. Separonya aku akan menguatkan hati jika
itu yang memang akan terjadi.
Jam
empat lima menit sore, bersama jeep kesayanganku, segera aku berangkat. Begitu besar rasa penasaranku, sampai aku lupa
meninggalkan ponselku diatas meja kantor.
Tiba
di tempat, yang tampak hanyalah pantai yang mulai sepi. Hanya ada cahaya sore menyinari
ombak yang menyapu pasir pantai yang putih.
Kutengok
kanan dan kiri, tak tampak sedikitpun sosoknya. Hanya ada sekumpulan anak-anak
nelayan yang mandi dipantai diujung sana. Untuk menghubunginya pun tak bisa aku
lakukan. Kini yang ada, aku hanya bisa berharap semoga dia lekas datang.
Sambil
duduk diatas pasir putih dan memandangi langit yang biru serta deburan ombak
didepanku, sejenak aku menenangkan diri. Berusaha berperasaan positive jika ini
kemungkinan terburuk yang terjadi.
“Aku
akan melanjutkan ceritaku sendiri, karena memang ini jalanku.” Bisikku menguatkan
hati. Aku begitu takut kehilangannya saat ini. Karena memang beberapa waktu
lalu, dia bercerita akan melamar seseorang. Tentunya wanita yang dicintainya. Dan
aku harus rela melepasnya. Melepas cerita delapan tahunku yang manis bersamanya.
Aku
begitu dilemma, antara senang atau sedih.
Senang, karena sahabatku akan menikah, mempunyai kehidupan yang baru
yang sangat dia impikan. Atau sedihkah karena aku akan kehilangan sahabatku
untuk traveling bersama kembali. Sejujurnya aku sudah nyaman bersamanya.
Lima
belas menit aku menunggu namun sosoknya belum tampak jua.
“Hai,
menunggu lama?? Maaf ya masih nganterin teman pulang. Pake jalan macet lagi.” Suara
yang sangat akrab itu muncul dari belakang kiriku. Tanpa ada suara mobilnya
yang tentunya sangat mengejutkanku.
Kutoleh
ke kiri. Dan dia datang dengan kemeja biru muda dengan lengan yang dilipat
tinggi sambil membawa dua es krim ditangannya yang membuatnya semakin tampak cool. Dia tampak beda pula kali ini, yang
membuatku semakin tambah tersiksa jika aku memang harus berpisah darinya.
“Mau
es krim??” tanyanya sambil menodongkan es krim ke depanku dengan senyuman manis
dibibirnya.
Ku
ambil es krim dari tangannya dengan berbalas senyum kecil dariku. Dan duduklah
dia disampingku sambil menikmati mentari sore didepan kami.
Sambil
menikmati es krim di sore itu, aku mulai angkat bicara.
“Ada
apa? Kok tiba-tiba kamu mengirim pesan seperti itu.” Tanyaku dengan harap-harap
cemas
“Habisin
dulu es krimnya. Baru nanti dilanjut ceritanya. Ngomong-ngomong makan es krim
seperti ini jadi inget mesir. Sampai dibela-belain kesana demi es krim yang
fenomenal itu. Lucu juga sih kalau mengingatnya” jawabnya.
“Mmm..
“ gumamku juga mengingat kembali kejadian itu.
“Mmm..
bulan depan aku sudah ambil cuti karena aku mau ke wakatobi. Kamu mau ikut??”
tanyanya berbalik padaku
“Ingin
sih, aku juga sudah kangen kesana lagi. Tapi kok mendadak sih. Gimana aku
ngurus cutinya?? Hais.”
Dia
hanya tersenyum nakal melihatku yang begitu ingin kesana. Sesaat kemudian dia
merubah expresinya. Menjadi sosok yang serius namun masih terlihat cool.
“Kira-kira,
kapan kamu akan mengakhiri masa lajangmu?” tanyanya padaku disusul gigitan
eskrim terakhir ke mulutnya.
Suasana
menjadi berubah. Aku serasa kejatuhan brangkas yang besar dan berat di
pundakku. Pertanyaan pendek itu mulai merambah menakuti tubuhku.
“Entahlah.”
Jawabku sambil mengangkat bahu dan memandang mentari sore yang semakin
keemasan.
“Tak
baik lho cewek lajang lama-lama. Apa lagi udah kepala tiga. Ya.., walau aku tau
kamu wanita yang mandiri.” Tambahnya diselingi senyuman kecil dibibirnya.
Aku
tak bisa berkata, dan hanya menoleh sebentar ke arahnya. Dan suasana menjadi
hening sesaat. Aku bingun harus berkata apa dan mungkin dia juga bingung harus
memulai darimana.
“Mmm…
doain aja. Semoga segera bertemu dengan orang yang tepat.” Jawabku.
“Kamu
juga kapan mengakhiri masa lajangmu. Biar segera ada yang ngurus. Biar nggak
ketinggalan pesawat lagi.” Tambahku berbalik tanya padanya.
“Sebentar
lagi kok, mungkin deket-deket lagi aku akan melamarnya. Mangkanya aku ingin
bertemu denganmu untuk meminta pendapatmu.” Jawabnya dengan senyuman yang
meyakinkan.
Jedarrr..
rasanya aku seperti disambar petir. Hal yang benar-benar aku takutkan kini
benar-benar terjadi. Mungkin travelingku ke wakatobi akan menjadi cerita
terakhirku bersamanya. Atau bahkan tidak sama sekali. Mendengar hal itu
membuatku terdiam terpaku. Bahkan aku hanya bisa menundukan kepala dan tak
berani menatapnya.
“Ya..
kamu tau lah. Aku sudah kepala tiga. Pekerjaan sudah ada, main juga sudah. Dan sekarang
tinggal satu hal yang belum aku lakukan. Orang tuaku juga terus mempertanyaakan kapan aku akan menikah.” Tambahnya.
Sedangkan
aku masih tetap menunduk diam terpaku.
“Hei..”
tiba-tiba wajahnya menengokku dari bawah. Melihat wajahku yang dari tadi ku
tundukan.
“
Lho..?? Kamu sedih ya?? Kenapa?? Cerita ke aku dong.” Tambahnya lagi memegang
bahuku dan mengangkat wajahku memandangnya dengan lembut.
Mataku
mulai berkaca-kaca menatapnya. Tak kuat rasanya harus bicara seperti
apa.
“Yahh..
Mmm.. ya memang sudah waktunya untukmu menikah. Dan kita akan berpisah. Tak bisa
traveling bersama lagi. Kamu sudah punya kehidupan sendiri dan aku masih akan
melanjutkan perjalananku. Tapi kali ini sendiri, tanpamu” jawabku dengan nada
terbata-bata dan menahan air mata yang akan keluar.
“Kan
kita masih bisa traveling bersama-sama.” Hiburnya
“Tapi..
aku akan jadi obat nyamuk kalian nanti.” Ibaku dengan sedikit gurau padanya.
Dan
tiba-tiba aku tak bisa menahan air mata yang sudah terbendung di kelopak. Satu per
satu telah membasahiku dipipi tanpa aku sadari.
“Aku
akan kehilanganmu” tambahku dengan menepis tangannya dari wajahku dan menutup
wajahku dengan kedua telapakku.
“Hei..
jangan menangis. Kamu jadi jelek kalau seperti ini. Ayolah senyum. Seperti yang
aku kenal selama ini.” Hiburnya sambil mengangkat wajahku menatapnya dan
perlahan diusapnya air mataku yang telah membasahi pipi. Sedangkan aku masih memasang
wajah iba.
“
Nah, gini kan lebih cantik” tambahnya
“
Kalau seandainya aku diperbolehkan, aku ingin memelukmu sebagai sahabat
terbaikku. Sebagai patner travelingku selama ini.” Pintaku padanya.
“Kenapa
tidak” jawabnya sambil melepaskan tangannya dan melapangkan dada seolah-olah
siap menerima pelukanku.
Aku
memeluknya sesaat sambil berbisik
padanya “Terimakasih untuk semuanya selama ini. Aku menyayangimu. Temanku.” Dan
segera kulepaskan pelukanku dari tubuh
hangatnya. Karena aku sadar dia memang bukan untukku.
“Sudah?
Sudah baikkan hatimu??” Tanyanya
Aku
hanya bisa menganggukkan kepala.
“Kalau
kamu sudah baikkan, bolehkan aku meninggalkanmu? Aku ada janji dengan
seseorang.” Tanyanya kembali. Yang saat
itu bertepatan dengan mentari yang mulai menghilangkan diri di garis horizon .
Dan
sekali lagi, aku hanya bisa menganggukakan kepala.
“
Kamu harus janji padaku. Setelah ini akan lebih baik lagi. Lebih bersemangat
menghasilkan karya. Lebih jauh lagi menjelajah.” Pintanya sambil memegang
tangan kiriku dan menggenggam jemariku.
Dia
segera beranjak berdiri. Memandangku sekali lagi dengan senyuman manis, menepuk
bahu kiriku dan berjalan pergi meninggalkanku.
Sedangakan
aku masih tetap duduk terpaku diatas pasir putih yang mulai menghitam. Sambil memandang
mentari yang mulai menghilang dari horizontal dan menyisakan langit yang
kemerahan.
Dan
tiba-tiba suaranya terdengar kembali.
“Oh
iya. Ada yang kelupaan.” Teriaknya sambil berlari kearahku.
Aku
menolehkan wajah kearahnya.
“Sebentar.
Aku ada sediki kenang-kenangan untukmu.” Tambahnya sambil merogoh saku di
celananya.
“Oh..
ada satu pertanyaan juga yang ingin aku tanyakan.” Tambahnya.
“Apa?”
tanyakau sambil bangkit dari pasir.
“Mmm..
kira-kira…” tanyanya dengan terbata-bata dan ekspresi penuh kebingungan dan
membuatku semakin tambah penasaran.
“kira-kira
apa??”
“Kira-kira..
Maukah kau menikah denganku dan menjadi ibu dari anak-anakku kelak??” tanyanya
padaku dengan berlutut didepanku dan wajah yang meyakinkan sambil menunjukan
cincin putih dengan permata manis di ujung jari telunjuk dan jempolnya.
Dan
aku terdiam terpaku untuk kedua kalinya. Separonya tak mempercayai keadaan. Antara
kenyataan ataukah mimpi. Begitu juga dengan perasaanku yang tak karuan. Antara bingung
atau bahagia.
Dan
sekali lagi aku memelukanya. Ditemani air mata kebahagiaan yang menetes deras
dipipi.
Begitu
juga dengannya yang memebelai lembut rambutku dan berbisik lirih. “Maafkan aku
ya. Tapi aku memang benar-benar menyayangimu. Sekali lagi aku minta maaf.”
Dan
beberapa bulan kemudian dia datang kerumahku. Memintaku pada orang tuaku.
14 Feb
2015
Anindy Reysha S.